Masyarakat
adat wilayah Petuanan Kayeli, yang diwakili oleh Raja Wael Mansyur siang ini
mengunjungi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dalam
kunjungan ini, mereka meminta pemerintah untuk mengoperasikan kembali tambang
emas di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku. Namun, pengoperasian ini dilakukan
dalam wujud Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan tidak diberikan langsung
kepada investor.
Namun, saat
ini pemerintah mengkhawatirkan ancaman potensi kerusakan alam apabila tambang
emas tetap dioperasikan. Pasalnya, ancaman inilah yang menjadi salah satu
alasan Presiden Joko Widodo untuk menginstruksikan penutupan tambang emas ini
pada November lalu.
"Kita
harus menata itu sebaik-baiknya. Di sana itu terjadi konflik dan pencemaran
lingkungan. Jadi di sana pencemaran lingkungan itu tinggi juga," kata
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Bambang Gatot saat ditemui di kantor
Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (13/6/2016).
Menanggapi
hal ini, perwakilan masyarakat Maluku pun menegaskan bahwa sudah melakukan
upaya agar pencemaran lingkungan dapat diatasi. Kesalahan menggunakan sianida
dan mercuri yang pernah dilakukan oleh PT BPS pada tahun lalu pun dipastikan
tidak terulang kembali.
"Koperasi
sudah mengantisipasi untuk pencemaran lingkungan. Isu sensitif saat ini adalah
menggunakan mercuri dan sianida. Kalau untuk dipertimbangkan itu maka
antisipasi itu kami sudah lakukan semua," kata Pengurus Konsosium dan
Koperasi Mansyur Lakata saat ditemui pada kesempatan yang sama.
Selain itu,
saat ini masyarakat pun telah mulai diberikan pengertian terkait isu pencemaran
lingkungan. Dengan begitu, maka permohonan agar tambang emas ini menjadi WPR
pun diharapkan dapat segera disetujui oleh pemerintah melalui Kementerian ESDM.
"Semua
persyaratan sudah dilakukan semua. Lalu juga waktu pengurusan kita tidak
panjang hampir dua tahun lebih, tapi persyaratan kita penuhi," tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar